Rabu, 31 Desember 2008

TENAGA KESEHATAN DAN OTONOMI DAERAH

TENAGA KESEHATAN DAN OTONOMI DAERAH

Disusun oleh:

1. Agustina Rismawati (12008002)

2. Aprilinawati Sri R (12008012)

3. Asih Trisnawati (12008015)

4. Dona Wahyuana (12008032)

5. Etik Suprihatin (12008040)

6. Evi Okta Kholifasari (12008041)

7. Indah Dwi Jayanti (12008054)

8. Mika Agustina (12008077)

9. Olexandria Tamara B (12008092)

10. Ratih Susanti (12008099)

AKADEMI KEBIDANAN ESTU UTOMO BOYOLALI

2008 / 2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia,taufik dan hidayah-Nya kepada kami.Dengan demikian kami masih bisa menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan apapun.Tak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak,seperti :

1. Bpk. Miyono Spd selaku dosen pembimbing mata kuliah Kewarganegaraan yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan kepada kita sekalian.

2. Bapak ibu selaku orang tua yang telah memberikan dukungan baik materiil maupun spirituiil

3. Teman-teman sekalian yang juga memberikan dukungan hingga terselesaikannya makalah ini

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca

Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk terhadap segala upaya yang kami lakukan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Memasuki milenium ke III, mutu pelayanan kesehatan semakin mendapat perhatian di samping pemerataannya yang terus diupayakan. Namun demikian, dengan adanya perubahan pada berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan, seperti transisi demografi, keadaan makroekonomi dunia, serta perubahan sosiokultural masyarakat, maka tantangan dan hambatan terhadap upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia menjadi semakin besar dan beragam.

Kecenderungan munculnya penyakit-penyakit baru dalam daftar penyakit utama masyarakat, baik yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah kelompok usia lanjut maupun akibat perubahan perilaku masyarakat, serta belum terkendalinya beberapa jenis penyakit lama, mengakibatkan pola penanganan penyakit masyarakat menjadi makin beragam. Perkembangan pola penyakit disertai dengan meningkatnya permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, membutuhkan dukungan sumber daya kesehatan yang semakin meningkat pula.

Pada kenyataannya, penyediaan sumber daya pembangunan kesehatan tidak berkembang secepat pertumbuhan kebutuhannya. Hal ini semakin nyata bila hanya dilihat sumber daya yang ada pada pemerintah saja. Menyadari kenyataan itu, maka efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumber daya itu menjadi penting artinya.

Dalam hal sumber daya manusia, untuk mencapai daya ungkit yang besar dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mutu tenaga kesehatan merupakan issue strategis yang perlu mendapat perhatian utama di samping pendayagunaannya. Hal ini semakin penting, terutama dalam kaitan dengan efisiensi pemanfaatan sumber daya, karena anggaran kesehatan terbesar terserap oleh pembiayaan sumber daya manusia.

Beberapa kebijakan ketenagaan yang telah diterapkan sejauh ini tujuannya adalah untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan, diutamakan untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah di daerah terpencil. Kebijakan itu antara lain penempatan dokter/dokter gigi PTT dan pendayagunaan para dokter/ dokter gigi pasca PTT, khususnya pendayagunaan para dokter spesialis, baik yang ikatan dinas maupun non ikatan dinas. Hal ini guna memenuhi keinginan masyarakat yang semakin kritis akan mutu pelayanan kesehatan dan sangat mendambakan pelayanan terbaik bagi dirinya.

Berbagai dimensi yang perlu mendapat perhatian dalam ketenagaan antara lain dapat dikelompokkan kedalam dimensi produksi, penyerapan/ pendayagunaan, perencanaan kebutuhan dan dimensi otonomi/desentralisasi.

Dalam dimensi pertama, yaitu produksi tenaga kesehatan, beberapa pertanyaan mendasar adalah:

1. Pihak/lembaga mana saja yang berperan dalam produksi tenaga kesehatan ?

2. Bagaimana pembagian peran dan koordinasi kerja antar pihak-pihak itu?

3. apakah pembagian peran dan koordinasi kerja itu efektif mengatasi tantangan dan kendala di bidang produksi tenaga kesehatan ?;

4. apakah keadaan staf pengajar cukup memadai, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya ?

5. apakah keadaan sarana pendidikan memadai untuk menjamin mutu lulusan yang tinggi ? dan

6. Berapa banyak lulusan yang termanfaatkan/terserap ?.

Dimensi kedua, berkaitan dengan penyerapan/pendayagunaan tenaga kesehatan. Beberapa hal pertanyaan mendasar, seperti:

1. Apakah kebijaksanaan ketenagaan selama ini efektif dalam pemerataan penempatan tenaga ?;

2. Bagaimana dampak zero growth policy terhadap penyerapan tenaga ?; dan

3. Apakah wajib kerja sarjana, khususnya PTT, berdampak positif terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga di berbagai institusi ?.

Dimensi ketiga, berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga. Beberapa pertanyaan mendasar, seperti :

1. Metode apa yang digunakan untuk menyusun kebutuhan tenaga ?;

2. Apakah sudah tersedia suatu proyeksi kebutuhan jangka panjang tenaga kesehatan sebagai pedoman arah penyusunan strategi bila dikaitkan dengan keadaan kesehatan di berbagai daerah ?;

3. Bagaimana pola pengembangan infrastruktur pelayanan kesehatan jangka panjang, sebagai salah satu determinan rencana kebutuhan tenaga ?; dan

4. apakah sistem informasi tenaga kesehatan memadai untuk mendukung perencanaan kebutuhan tenaga ?.

Dimensi keempat, berkaitan dengan otonomi daerah/ desentralisasi. Beberapa pertanyaan mendasar adalah :

1. Jenis ketenagaan apakah yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah ?

2. Bagaimana rencana daerah untuk mencukupi kebutuhan tenaga tersebut ?

Dengan adanya perkembangan situasi akhir-akhir ini, kita makin dihadapkan pada keadaan yang tidak mudah. Hal ini erat kaitannya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

BAB II

PEMBAHASAN

Dimensi produksi tenaga kesehatan menghadapi berbagai masalah kualitas dan kuantitas, khususnya untuk tenaga pendidik baik di fakultas kedokteran maupun keperawatan. Dari segi usia, sebagian besar dosen di fakultas kedokteran menginjak masa pensiun sedangkan tenaga pengganti sulit diperoleh. Sebaliknya, tenaga dosen di keperawatan mempunyai tingkat pendidikan yang sama, bahkan lebih rendah dari peserta didiknya. Sebagai contoh, lebih dari 70% tenaga pendidik di 237 akademi perawat adalah lulusan Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) – setara dengan SPK, selebihnya adalah lulusan dari Jenjang Pendidikan Tinggi (JPT).

Dari sisi kuantitas peserta didik, diproyeksikan pada tahun 2020 kebutuhan dokter diperkirakan adalah sebanyak 95,7 ribu dan kebutuhan dokter gigi adalah sekitar 39,4 ribu. Sedangkan produksi kedua tenaga tersebut pada kurun waktu yang sama adalah sekitar 126,8 ribu dokter dan 54,8 ribu dokter gigi.Untuk keperawatan, diproyeksikan sekitar lebih dari 670 ribu orang dari berbagai disiplin, sedangkan dari sisi kebutuhan diperkirakan hanya sekitar 411 ribu orang.Dengan demikian, akan terjadi kelebihan produksi tenaga-tenaga tersebut yang jika tidak ditangani dengan perencanaan yang baik akan menyebabkan kelak terjadinya pengangguran intelektual.

Dimensi penyerapan/pendayagunaan juga menghadapi masalah serupa.Sejauh ini pendayagunaan tenaga kesehatan dilaksanakan melalui one gate policy yang berarti pendayagunaan semua lulusan tenaga kesehatan harus melalui Departemen Kesehatan.Keuntungan dari sistim ini adalah Departemen Kesehatan dapat mengevaluasi, mengendalikan dan memantau tenaga kesehatan.Sampai tahun 1993, hal ini tidak menjadi masalah, karena setiap tahunnya tersedia formasi sebesar

20.000 setahunnya sehingga semua lulusan dapat diserap sebagai pegawai negeri dan ditempatkan pada institusi yang membutuhkan.Tahun 1994, Menteri Penertiban Aparatur Negara mengeluarkan kebijaksanaan zero growth sehingga formasi yang tersedia menjadi sekitar 5.500 pertahunnya.Dengan meningkatnya jumlah lulusan tenaga kesehatan tiap tahun, yang hingga saat ini mencapai jumlah kurang-lebih 26.000 orang, maka tidak semua lulusan dapat diserap menjadi pegawai negeri.

Suatu gambaran tentang kemampuan daya serap melalui formasi sebagai PNS adalah lulusan Akademi Perawat yang berjumlah kurang lebih 8.600 orang/tahun, dan yang dapat diserap melalui formasi Inpres dan Rutin 1996/1997 hanya 493. Lulusan SPK dan Bidan berjumlah 10.400 orang, sedangkan formasi yang tersedia 1996/1997 hanyalah 3.605.Lulusan Jenjang Pendidikan Tinggi (JPT-DIII) diperkirakan menjadi 4.960 orang, sedang penyediaan formasi 1996/1997 adalah 926. Lulusan Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) berjumlah 3.320 orang sedang formasi yang tersedia 1996/1997 adalah 1.473.Gambaran lain tentang penyerapan sebagai PNS pada tahun 1995 di kalangan tenaga Farmasi Apoteker tercatat sekitar 49% dan selebihnya sebanyak lebih kurang 3.500 orang bekerja di lingkungan BUMN dan Swasta.

Pelaksanaan Wajib Kerja Sarjana bagi tenaga kesehatan telah memberikan kesempatan pada Depkes untuk dapat menyebarkan tenaga kesehatan di tempat-tempat yang memerlukan, sehingga diharapkan tidak terjadi kekosongan di suatu wilayah tertentu, dan kesempatan ini telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya kebijaksanaan zero growth, maka pengangkatan/ penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan dengan menggunakan alokasi formasi pengganti dan melalui pengangkatan PTT yang jumlahnya sangat terbatas.Tenaga pasca PTT diberi kesempatan untuk menjadi PNS melalui seleksi/persyaratan, namun jumlahnya hanya berkisar 10% dari jumlah yang diperlukan.Sisa dari para tenaga pasca PTT itu diharapkan dapat terserap oleh pelayanan kesehatan sektor swasta.

Dimensi perencanan juga menghadapi masalah yang tidak sederhana.Sebagai antisipasi terhadap sebelum diterapkannya kebijaksanaan zero growth, Departemen Kesehatan melalui Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 1991, mengambil kebijaksanaan mengangkat tenaga dokter sebagai pegawai tidak tetap atau PTT dalam menjalankan masa baktinya. Pengangkatan dimulai sejak Februari 1992 dan sampai saat ini telah diangkat lebih dari 10.000 dokter untuk mengisi berbagai sarana pelayanan kesehatan didaerah. Pada tahun 1994, pengangkatan PTT diperluas kepada dokter gigi dan bidan di desa.

Berkaitan dengan tenaga Bidan, dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di perdesaan untuk program penurunan angka kematian ibu dan anak, dalam Repelita V telah diupayakan untuk menempatkan tenaga Bidan di desa untuk memenuhi 54.120 desa yang belum terjangkau oleh pelayanan KIA. Sejak tahun 1989/1990 sampai dengan tahun 1998/1999, secara keseluruhan telah ditempatkan lebih dari 60.000 orang bidan, yang berarti hampir semua desa telah mempunyai tenaga bidan.Tahun ini sebagian dari bidan desa yang dipekerjakan melalui PTT, hampir menyelesaikan masa baktinya.Kini mereka ditawarkan untuk masa bakti kedua selama 3 tahun lagi (di desa semula) dan diharapkan setelah itu mereka dapat mandiri bekerja di desa tanpa harus menjadi Pegawai Negeri.

BAB III

TANTANGAN MASA DEPAN

Kebijaksanaan pengangkatan PTT, selain untuk memenuhi kebutuhan tenaga, juga sekaligus digunakan untuk dapat mencapai pemerataan tenaga kesehatan, sehingga lulusan tenaga kesehatan yang pendayagunaannya melalui PTT, terkena wajib kerja Depkes.Permasalahan yang muncul dalam pola ini terutama disebabkan oleh adanya semacam one gate policy dalam penyerapan tenaga.Terbatasnya jumlah formasi PTT dibandingkan dengan jumlah produksi tenaga, dan ditambah lagi dengan preferensi lulusan terhadap wilayah-wilayah tertentu, utamanya lulusan yang wanita, berakibat keadaan menjadi tidak ubahnya dengan fenomena bottle neck dalam pendayagunaan lulusan, utamanya lulusan dokter.Stagnasi yang terjadi akibat fenomena ini telah dapat dilihat dampaknya, terutama pada penurunan ratio dokter Puskesmas.Adanya peminatan terhadap wilayah kerja tertentu, suatu keadaan yang memperberat stagnasi, kemungkinan timbul akibat sifat penempatan kerja untuk jangka waktu yang relatif lama.

Dengan adanya one gate policy dan wajib kerja itu pula, kebutuhan tenaga kesehatan oleh sektor di luar pemerintah menjadi sulit terpenuhi. Pasar tenaga kesehatan yang nampaknya cukup potensial untuk menyerap tenaga, khususnya dokter, adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang manajemen kesehatan, seperti asuransi jiwa. Peluang ini tidak dapat dimanfaatkan oleh karena tenaga kesehatan harus menunggu giliran di "PTT" kan dulu, tanpa kepastian berapa lama waktu tunggu itu.Hambatan penyerapan tenaga oleh sektor swasta itu mendorong lulusan baru untuk bekerja secara ilegal pada berbagai institusi kesehatan swasta, dengan alasan "mengisi waktu tunggu PTT".Di samping itu, hambatan, pada gilirannya, diperkirakan juga akan terjadi pada pemenuhan kebutuhan dokter spesialis akibat persyaratan PTT sebelum pendidikan lanjut. Tantangannya adalah bagaimana sektor swasta dapat mendayagunakan tenaga kesehatan di berbagai daerah sejalan dengan otonomi daerah.

Adanya preferensi untuk bekerja pada wilayah-wilayah tertentu, mengancam tidak tercapainya pemerataan penyediaan tenaga kesehatan pada daerah-daerah yang kurang diminati. Selain itu terdapat kecenderungan penurunan penempatan dokter di daerah terpencil dan sangat terpencil.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, masa kerja yang relatif lama, bahkan kemungkinan tidak kembali bagi tenaga paramedis, menyebabkan pemilihan lokasi tugas menjadi titik crucial bagi masa depan petugas.Apalagi belum nampak adanya indikasi bahwa sistem tour of duty akan diterapkan, sehingga kekhawatiran petugas akan kemungkinan “terbenam” di tengah-tengah medan tugas dengan berlakunya waktu, cukup beralasan. Inilah tantangan lain yang harus dihadapi di sektor kesehatan.

Berkaitan dengan pengangkatan secara PTT yang dibatasi untuk masa kontrak tiga tahun, secara psikologis dapat berakibat kurangnya konsentrasi petugas terhadap tugas-tugasnya. Walaupun harapan menjadi pegawai negeri masih ada, namun secara statistik kemungkinan itu tidak lebih dari 10%. Oleh karena itu, pembatasan masa kontrak itu menjadi semacam isyarat bahwa setelah tiga tahun seorang petugas PTT akan menghadapi keadaan putus hubungan kerja. Hal ini menyebabkan yang bersangkutan mungkin lebih tertarik untuk memikirkan masa pasca PTT daripada semasa PTT.

BAB IV

ALTERNATIF PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN

Sehubungan dengan berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi berkaitan dengan upaya pemerataan pemenuhan kebutuhan tenaga medis dan paramedis seperti dikemukakan di atas, beberapa pertanyaan berikut mungkin perlu menjadi pertimbangan dalam menyempurnakan kebijakan ketenagaan kesehatan di masa yang akan datang:

1. Apakah wajib kerja masih relevan untuk dipertahankan ?

Selain hal ini menimbulkan berbagai permasalahan sebagaimana tersebut di atas, ada pandangan yang melihat dengan berkembangnya demokrasi, wajib kerja semakin tidak sejalan dengan modernisasi budaya walaupun institusi pendidikan tempat calon tenaga kesehatan disubsidi pemerintah.Apabila wajib kerja menjadi kurang sesuai lagi, maka alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah pengangkatan tenaga kesehatan melalui mekanisme pasar tenaga kerja.Dalam hal ini, Depkes sebagai organisasi kesehatan pemerintah, menjadi salah satu pilihan tempat kerja lulusan baru.

2. Apakah kontrak kerja PTT dapat dipertahankan tanpa perpanjangan ?

Uraian di atas menunjukkan adanya konsekuensi logis dari pembatasan masa kontrak itu.Data menunjukkan hanya kurang-lebih 10% dari para dokter PTT yang dapat diangkat menjadi PNS. Dengan kata lain, hampir 90% akan mengalami PHK. Keadaan ini sangat counter productive, bagi pembinaan karier petugas.Oleh karenanya, perpanjangan kontrak hingga waktu yang tak terbatas, melalui tahapan 2-3 tahun, dapat menjadi alternatif pendayagunaan tenaga PTT.

3. Bagaimana tenaga PTT sebaiknya didaya-gunakan ?

Tenaga PTT pada hakekatnya merupakan tenaga kesehatan profesional.Oleh karena itu, dalam pemanfaatan mereka, perlu ketegasan tugas dan fungsinya yang sesuai dengan profesinya.Tenaga dokter, misalnya, sebaiknya didaya-gunakan sebatas profesi teknis medisnya saja, karena pemanfaatan mereka sebagai manajer/administrator akan berakibat menurunnya efektifitas upaya medis akibat ditangani tenaga yang kurang kompeten.Pemanfaatan tenaga kesehatan PTT sesuai dengan profesinya memungkinkan masa kerja di satu lokasi dipersingkat, misalnya 6 bulan, sehingga adanya tour of duty menjadi lebih dimungkinkan.Dengan demikian, kekhawatiran petugas akan nasib buruk akibat memperoleh wilayah yang tidak disukai, dapat dikurangi karena semua PTT akan digilir ke semua lokasi di wilayah negeri ini.

4. Kategori tenaga apa yang seyogyanya didayagunakan sebagai PNS ?

Pada prinsipnya, mereka yang perlu didayagunakan sebagai PNS adalah petugas/pejabat yang berkaitan dengan tugas administrasi pemerintahan.Mereka adalah orang-orang yang akan duduk dalam struktur organisasi pemerintah.Untuk ini, jenis pendidikan serta pengembangan kariernya, perlu secara konsisten diarahkan untuk tugas-tugas administrasi.Tidak tertutup kemungkinan tenaga kesehatan PTT beralih menjadi tenaga administrasi kesehatan setelah melalui pendidikan dan pelatihan formal, namun status PNS seyogyanya tidak dijadikan suatu daya tarik/imbalan bagi PTT yang berprestasi, karena peran dan fungsinya maupun alur pengembangannya berbeda sama sekali.Apabila pendaya-gunaan tenaga PTT akan mengikuti pola tour of duty, dengan lama kerja di satu pos tidak lebih dari 6 bulan, maka sebaiknya yang didaya-gunakan sebagai PTT adalah tenaga kesehatan fungsional, utamanya yang berkaitan dengan penyampaian pelayanan kesehatan.

Permasalahan yang kita hadapi ini makin menjadi lebih kompleks dengan diberlakukannya otonomi daerah. Apakah one gate policy masih “relevan” diberlakukan sejalan dengan otonomi daerah tersebut ? Bagaimana perpindahan tenaga kesehatan dari satu daerah ke daerah lainnya ? Instansi manakah yang akan mengatur hal ini ? Oleh karena itu, pemberian otonomi daerah dalam bidang pendayagunaan tenaga perlu secara bertahap dikembangkan agar mampu berperan aktif dalam pengembangan dan pembinaan profesi.

PENUTUP

Demikian pokok-pokok pemikiran yang berkaitan dengan upaya penyempurnaan kebijakan ketenagaan kesehatan dalam kaitannya dengan desentralisasi atau otonomi daerah. Di masa depan, sebagai bangsa kita dituntut untuk menyiapkan diri dengan baik agar mampu menjawab berbagai tantangan pembangunan, yang dari waktu ke waktu terasa semakin berat. Dengan demikian kita ditantang untuk membangun sumber daya manusia yang memiliki semangat profesional, semangat pembaharuan (reformasi), serta komitmen dan tekad yang kuat untuk mengubah keadaan dan memperbaiki bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hai....tinggalkan komentar ya!!!!