Rabu, 31 Desember 2008

PERAN BIDAN PROFESIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERAN BIDAN PROFESIONAL DI ERA GLOBALISASI

DI JAWA TIMUR


Disusun oleh:

1. Ana Rusdiana (12008004)

2. Asih Trisnawati (12008015)

3. Dona Wahyuana (12008032)

4. Etik Suprihatin (12008040)

5. Evi Okta Kholifasari (12008041)

6. Heni Safitri (12008045)

7. Mika Agustina (12008077)

8. Olexandria Tamara B (12008092)

9. Ratih Susanti (12008099)

10. Rini Indarti (12008106)

AKADEMI KEBIDANAN ESTU UTOMO BOYOLALI

2008 / 2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia,taufik dan hidayah-Nya kepada kami.Dengan demikian kami masih bisa menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan apapun.Tak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak,seperti :

1. Bpk. Basirun Spd selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Pancasila yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan kepada kita sekalian.

2. Bapak ibu selaku orang tua yang telah memberikan dukungan baik materiil maupun spirituiil

3. Teman-teman sekalian yang juga memberikan dukungan hingga terselesaikannya makalah ini

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca

Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk terhadap segala upaya yang kami lakukan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.

Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)

Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.

Kalau saja tidak ada bidan, tidak bisa dibayangkan bagaimana kesibukan dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Baru terasa mules, atau mungkin pembukaan satu ibu hamil sudah ribut, dokter harus menunggu menjawab kengerian mereka. Memang pembangunan kesehatan di Indonesia masih diwarnai rawannya derajat kesehatan ibu dan anak, terutama pada kelompok yang paling rentan yaitu ibu hamil, ibu bersalin dan nifas serta bayi pada masa prenatal yang ditandai masih tingginya angka kematin ibu (AKI) karena melahirkan. Itu lah sebabnya, peran bidan dalam pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana perlu mendapat perhatian besar demi kelangsungan hidup ibu dan anak. Guna meningkatkan kualitas SDM bidan, Universitas Airlangga, Jawa Timur, bakal membuat terobosan sendiri dengan menyediakan diskon SPP bagi bidan di Jawa Timur yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan S-1 nya di kampus Unair. Seiring perkembangan era teknologi dan globalisasi saat ini, peran bidan menjadi ujung tombak kelangsungan hidup matinya seorang anak manusia yang lahir ke dunia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 66% persalinan, 93% kunjungan antenatal dan 80 % dari pelayanan keluarga berencana dilakukan oleh bidan. Bidan sangat berperan dalam pencapaian 53 % prevalensi pemakaian kontrasepsi. Apalagi, 58% pelayanan kontrasepsi suntik dilakukan oleh bidan praktek swasta dan 25% pemakai kontrasepsi Pil, IUD dan implant dilayani oleh bidan praktek swasta. Disisi lain, sukses yang telah diraih selama ini menimbulkan tantangan baru bersama dengan kemajuan pembangunan di tanah air. Kesejahteraan yang semakin meningkat disertai dengan tingkat pendidikan masyarakat akan menimbulkan tuntutan kualitas pelayanan. Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sebagai organisasi profesi yang sangat peduli pada anggotanya serta sensitif pada masalah kesehatan yang ada di negara ini senantiasa memperhatikan tingkat profesionalisme para bidan. Berbagai upaya telah dilakukan IBI dengan melakukan kegiatan yang berfokus pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan anggota dalam pemberian pelayanan serta kelengkapan sarana sesuai standar. Dengan kekuatan organisasi pada setiap jenjang kepengurusan, hampir setiap cabang IBI telah mempunyai kantor sekretariat tempat melakukan aktifitas yang merupakan center pembinaan anggota, bahkan juga tempat pelayanan milik organisasi sebagai tempat meningkatkan ketrampilan anggota melalui program magang dan sekaligus merupakan tempat usaha yang berbadan hukum dengan nama Yayasan Buah Delima. Melalui kegiatan yayasan ini, IBI melengkapi kebutuhan para bidan baik berupa sarana pelayanan termasuk obat dan alat kontrasepsi maupun berupa dana untuk meningkatkan tempat pelayanan. Di sela kesibukan menempuh pendidikan formal tingkat akademi yang merupakan standar minimal pendidikan bidan atau lebih atas lagi, para pengurus masih menyempatkan melakukan pembinaan di setiap tingkat kepengurusan. Di tingkat provinsi diberikan kepada pengurus cabang dengan muatan kebijakan-kebijakan organisasi, pengembangan pengetahuan baru yang akan diteruskan kepada anggota di tingkat cabang dan ranting sebagai upaya pemberdayaan pengurus. Dan saat ini, IBI provinsi Jatim boleh berbangga hati karena pihak rektorat Universitas Airlangga bakal menyediakan peluang bagi bidan di Jatim untuk mengembangkan pengetahuan akademinya hingga jenjang S1 di kampus Unair. “Kemungkinan besar, bidan-bidan yang beruntung nanti akan mendapat korting SPPnya dari Unair, “ cetus Prof Dr H Haryono Suyono Guru Besar Universitas Airlangga ini saat berbicara dalam seminar Peningkatan Kualitas Bidan di kampus Unair dalam rangka memperingati 50 Tahun Unair, yang terselenggara atas kerjasama Ikatan Bidan Indonesia (IBI) provinsi Jawa Timur dengan Universitas Airlangga, Jatim. Ucapan Wakil Ketua I Yayasan Damandiri sebenarnya cukup beralasan, karena sebelumnya telah dilakukan pendekatan dengan banyak pihak, khususnya pihak rektorat. Dengan kata lain, Universitas Airlangga memang telah siap mengangkat para bidan se Jatim menjadi sarjana melalui program S1-nya. Hadir dalam seminar Pembantu Rektor I Unair, Prof Dr Fasikhul Ihsan, Sukaemi Sukir, SPd,-Ketua IBI provinsi Jatim dan Prof Muhammad Amin, Direktur Program Pascasarjana Unair.Jajaran pengurus IBI se Jatim memenuhi auditorium Fakultas Kedokteran UNAIR. Menurut Sukaemi, selain mengupayakan para bidan yang tergabung dalam IBI memperoleh tingkat pendidikan memadai, IBI juga melakukan kegiatan berupa seminar pendidikan berkelanjutan, pelatihan-pelatihan berbasis kompetensi (menggunakan standar WHO) yang telah dan sedang dilaksanakan di 75 % cabang, bahkan ada 4 kabupaten yang 100 % bidannya telah dilatih APN. Untuk mempertahankan kinerja pelayanan sesuai standar, IBI pun mempunyai program Peer Review yang sedang dan telah dilaksanakan di 40 % cabang. Mengantisipasi penerapan sistem legislasi dan lisensi oleh pemerintah melalui proses penilaian dan pemantauan terhadap pelayanan bidan, maka IBI bekerjasama dengan STARH, BKKBN dan DepKes telah memulai program peningkatan kualitas pelayanan yang sesuai dengan standar kesehatan WHO. Program ini dutujukan kepada semua bidan praktek swasta dan dinamakan Bidan Delima, suatu merk dagang yang punya standar sudah ditentukan dan mempunyai keunggulan, kekhususan berkualitas tinggi, mempunyai nilai tambah, lengkap dan memiliki hak paten. Otonomi daerah Dengan adanya semangat otonomi daerah, menurut Prof Haryono perlu ditelaah kembali. Berdasar hasil penelitian internasional, otonomi daerah pada saat-saat awal ternyata mengendorkan upaya-upaya yang pada tingkat nasional telah berhasil dengan baik. “Bupati-bupati biasanya tidak terlalu ingat bagaimana melayani bidannya tetapi masih berebut supaya dipilih kembali. Pejabat-pejabat kebingungan karena biasanya jadi kanwil sekarang rebutan kursi dengan kepala dinasnya.” Ditambahkannya lagi, banyak kasus terjadi di beberapa negara berkembang, mereka mengalami kemunduran gara-gara otonomi daerah. Banyak negara yang semula hebat menurunkan kematian ibu hamil dan melahirkan turun drastis gara-gara otonomi daerah mulai mengalami naik turun. Fenomena ini terjadi karena mereka menungu petunjuk dari pusat, sementara proyeknya belum turun maka anggaran pun belum ada. Padahal, otonomi daerah itu intinya harus diprakarsai dari daerah dan anggaran harus dicari dari kantong sendiri. Dengan adanya kegamangan itu, perlu dikembangkan strategi pemberdayaan yang mandiri untuk meningkatkan mutu keluarga, perempuan, anak-anak dan remaja di dalam proses pemberdayaan ibu sehat, keluarga sehat, keluarga yan beruntung, bekerja dan membangun. “Strategi ini bukan sekedar wacana, tetapi pada perubahan tingkah laku,” tegas Prof Haryono seraya menambahkan, “strategi yang perlu kita segarkan kembali adalah komitmen yang tinggi melindungi ibu-ibu dan anak-anak pemegang masa depan bangsa. Targetnya adalah dengan mengukur makin tingginya mutu punduduk Indonesia atas dasar human development index.” Bidan Mandiri Dari 70.000 bidan yang sudah mulai bergabung dengan posyandu dan Polindes di desa-desa, ungkap Prof Haryono, sekarang tinggal 22.000, sementara yang lainnya setelah kawin dan alasan lainnya telah beralih profesi. Ada yang menjadi istri kepala desa, istri camat, istri pedagang, sehingga melupakan ilmu kebidanan dan pertolongan untuk ibu hamil dan melahirkan.“Apabila kita ingin bidang kesehatan dan KB maju, pelayanan ibu sehat ini harus tetap dijadikan profesi kapanpun dimanapun kita berada,” cetus Prof Haryono. Ironisnya, pelayanan pemerintah berupa obat-obatan dan alat kontrasepsi mulai tahun 2004 hanya antara 20 – 30 %. Artinya, antara 70 –80 % harus dilayani masyarakat sendiri atau swasta. Oleh karena itu, perlu dilakukan advokasi agar bidan dengan kerjasama tim dokter dan akademisi pendidikan dapat meningkatkan mutu bidan sehingga kesehatan ibu dan anak dapat dideteksi secara dini. Kalau bidan tidak bisa melayani di tempat praktek atau di posyandu atau di polindes dapat diteruskan kepada para dokter. Pascasarjana Unair saat ini sedang menyiapkan suatu jaringan di sepuluh kota dan kabupaten sebagai payung proyek pertama, termasuk Surabaya, Malang dan sekitarnya. Untuk meningkatkan mutu dan jaminan ibu-ibu bidan ini akan dilakukan pertemuan sekitar dua atau tiga bulan sekali. Diharapkan, akan ada kerjasama dengan bank pembangunan daerah agar para bidan dapat menjadi anggota dan penerima kartu bidan mandiri, sehingga para bidan mudah menerima kartu kredit dari bank Jawa Timur untuk menolong para akseptor yang mungkin tidak bisa membayar kontan harga obat suntikan. “Obat suntikan 3 bulan dipakai sekali kalau bayar 3 bulan hanya pada waktu disuntik itu mahal, bisa dicicil seminggu sekali atau sebulan sekali, “ saran prof Haryono didepan `peserta forum seminar yang saat itu hadir pula beberapa pengurus BPD Jatim. Usulan lainnya, akan ada pelatihan bidan junior secara tersendiri. “Kalau dalam dua tahun sekali, bidan delima mengambil bidan senior, maka bidan junior akan kita latih juga. Sehingga ada semacam kerjasama yang erat, yang intinya adalah memberikan kesempatan sebanyak mungkin agar pasangan ibu yang ada dapat dibantu. Oleh karena itu sejalan dengan penyediaan pelayanan yang disediakan Bank Jatim, kita sediakan juga kontrasepsi mandiri, di setiap desa minimal ada 1 bidan mandiri.” Seminar yang dihadiri 230 pengurus IBI se-Jawa Timur dan Badan Pusat statistik (BPS) dari 15 cabang ini diharapkan dapat menambah pengayaan dari kegiatan dan program yang telah ada, sehingga memperkuat kemandirian dalam langkah serta pemberian pelayanan kepada masyarakat.

TENAGA KESEHATAN DAN OTONOMI DAERAH

TENAGA KESEHATAN DAN OTONOMI DAERAH

Disusun oleh:

1. Agustina Rismawati (12008002)

2. Aprilinawati Sri R (12008012)

3. Asih Trisnawati (12008015)

4. Dona Wahyuana (12008032)

5. Etik Suprihatin (12008040)

6. Evi Okta Kholifasari (12008041)

7. Indah Dwi Jayanti (12008054)

8. Mika Agustina (12008077)

9. Olexandria Tamara B (12008092)

10. Ratih Susanti (12008099)

AKADEMI KEBIDANAN ESTU UTOMO BOYOLALI

2008 / 2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia,taufik dan hidayah-Nya kepada kami.Dengan demikian kami masih bisa menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan apapun.Tak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak,seperti :

1. Bpk. Miyono Spd selaku dosen pembimbing mata kuliah Kewarganegaraan yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan kepada kita sekalian.

2. Bapak ibu selaku orang tua yang telah memberikan dukungan baik materiil maupun spirituiil

3. Teman-teman sekalian yang juga memberikan dukungan hingga terselesaikannya makalah ini

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca

Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk terhadap segala upaya yang kami lakukan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Memasuki milenium ke III, mutu pelayanan kesehatan semakin mendapat perhatian di samping pemerataannya yang terus diupayakan. Namun demikian, dengan adanya perubahan pada berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan, seperti transisi demografi, keadaan makroekonomi dunia, serta perubahan sosiokultural masyarakat, maka tantangan dan hambatan terhadap upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia menjadi semakin besar dan beragam.

Kecenderungan munculnya penyakit-penyakit baru dalam daftar penyakit utama masyarakat, baik yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah kelompok usia lanjut maupun akibat perubahan perilaku masyarakat, serta belum terkendalinya beberapa jenis penyakit lama, mengakibatkan pola penanganan penyakit masyarakat menjadi makin beragam. Perkembangan pola penyakit disertai dengan meningkatnya permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, membutuhkan dukungan sumber daya kesehatan yang semakin meningkat pula.

Pada kenyataannya, penyediaan sumber daya pembangunan kesehatan tidak berkembang secepat pertumbuhan kebutuhannya. Hal ini semakin nyata bila hanya dilihat sumber daya yang ada pada pemerintah saja. Menyadari kenyataan itu, maka efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumber daya itu menjadi penting artinya.

Dalam hal sumber daya manusia, untuk mencapai daya ungkit yang besar dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mutu tenaga kesehatan merupakan issue strategis yang perlu mendapat perhatian utama di samping pendayagunaannya. Hal ini semakin penting, terutama dalam kaitan dengan efisiensi pemanfaatan sumber daya, karena anggaran kesehatan terbesar terserap oleh pembiayaan sumber daya manusia.

Beberapa kebijakan ketenagaan yang telah diterapkan sejauh ini tujuannya adalah untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan, diutamakan untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah di daerah terpencil. Kebijakan itu antara lain penempatan dokter/dokter gigi PTT dan pendayagunaan para dokter/ dokter gigi pasca PTT, khususnya pendayagunaan para dokter spesialis, baik yang ikatan dinas maupun non ikatan dinas. Hal ini guna memenuhi keinginan masyarakat yang semakin kritis akan mutu pelayanan kesehatan dan sangat mendambakan pelayanan terbaik bagi dirinya.

Berbagai dimensi yang perlu mendapat perhatian dalam ketenagaan antara lain dapat dikelompokkan kedalam dimensi produksi, penyerapan/ pendayagunaan, perencanaan kebutuhan dan dimensi otonomi/desentralisasi.

Dalam dimensi pertama, yaitu produksi tenaga kesehatan, beberapa pertanyaan mendasar adalah:

1. Pihak/lembaga mana saja yang berperan dalam produksi tenaga kesehatan ?

2. Bagaimana pembagian peran dan koordinasi kerja antar pihak-pihak itu?

3. apakah pembagian peran dan koordinasi kerja itu efektif mengatasi tantangan dan kendala di bidang produksi tenaga kesehatan ?;

4. apakah keadaan staf pengajar cukup memadai, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya ?

5. apakah keadaan sarana pendidikan memadai untuk menjamin mutu lulusan yang tinggi ? dan

6. Berapa banyak lulusan yang termanfaatkan/terserap ?.

Dimensi kedua, berkaitan dengan penyerapan/pendayagunaan tenaga kesehatan. Beberapa hal pertanyaan mendasar, seperti:

1. Apakah kebijaksanaan ketenagaan selama ini efektif dalam pemerataan penempatan tenaga ?;

2. Bagaimana dampak zero growth policy terhadap penyerapan tenaga ?; dan

3. Apakah wajib kerja sarjana, khususnya PTT, berdampak positif terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga di berbagai institusi ?.

Dimensi ketiga, berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga. Beberapa pertanyaan mendasar, seperti :

1. Metode apa yang digunakan untuk menyusun kebutuhan tenaga ?;

2. Apakah sudah tersedia suatu proyeksi kebutuhan jangka panjang tenaga kesehatan sebagai pedoman arah penyusunan strategi bila dikaitkan dengan keadaan kesehatan di berbagai daerah ?;

3. Bagaimana pola pengembangan infrastruktur pelayanan kesehatan jangka panjang, sebagai salah satu determinan rencana kebutuhan tenaga ?; dan

4. apakah sistem informasi tenaga kesehatan memadai untuk mendukung perencanaan kebutuhan tenaga ?.

Dimensi keempat, berkaitan dengan otonomi daerah/ desentralisasi. Beberapa pertanyaan mendasar adalah :

1. Jenis ketenagaan apakah yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah ?

2. Bagaimana rencana daerah untuk mencukupi kebutuhan tenaga tersebut ?

Dengan adanya perkembangan situasi akhir-akhir ini, kita makin dihadapkan pada keadaan yang tidak mudah. Hal ini erat kaitannya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

BAB II

PEMBAHASAN

Dimensi produksi tenaga kesehatan menghadapi berbagai masalah kualitas dan kuantitas, khususnya untuk tenaga pendidik baik di fakultas kedokteran maupun keperawatan. Dari segi usia, sebagian besar dosen di fakultas kedokteran menginjak masa pensiun sedangkan tenaga pengganti sulit diperoleh. Sebaliknya, tenaga dosen di keperawatan mempunyai tingkat pendidikan yang sama, bahkan lebih rendah dari peserta didiknya. Sebagai contoh, lebih dari 70% tenaga pendidik di 237 akademi perawat adalah lulusan Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) – setara dengan SPK, selebihnya adalah lulusan dari Jenjang Pendidikan Tinggi (JPT).

Dari sisi kuantitas peserta didik, diproyeksikan pada tahun 2020 kebutuhan dokter diperkirakan adalah sebanyak 95,7 ribu dan kebutuhan dokter gigi adalah sekitar 39,4 ribu. Sedangkan produksi kedua tenaga tersebut pada kurun waktu yang sama adalah sekitar 126,8 ribu dokter dan 54,8 ribu dokter gigi.Untuk keperawatan, diproyeksikan sekitar lebih dari 670 ribu orang dari berbagai disiplin, sedangkan dari sisi kebutuhan diperkirakan hanya sekitar 411 ribu orang.Dengan demikian, akan terjadi kelebihan produksi tenaga-tenaga tersebut yang jika tidak ditangani dengan perencanaan yang baik akan menyebabkan kelak terjadinya pengangguran intelektual.

Dimensi penyerapan/pendayagunaan juga menghadapi masalah serupa.Sejauh ini pendayagunaan tenaga kesehatan dilaksanakan melalui one gate policy yang berarti pendayagunaan semua lulusan tenaga kesehatan harus melalui Departemen Kesehatan.Keuntungan dari sistim ini adalah Departemen Kesehatan dapat mengevaluasi, mengendalikan dan memantau tenaga kesehatan.Sampai tahun 1993, hal ini tidak menjadi masalah, karena setiap tahunnya tersedia formasi sebesar

20.000 setahunnya sehingga semua lulusan dapat diserap sebagai pegawai negeri dan ditempatkan pada institusi yang membutuhkan.Tahun 1994, Menteri Penertiban Aparatur Negara mengeluarkan kebijaksanaan zero growth sehingga formasi yang tersedia menjadi sekitar 5.500 pertahunnya.Dengan meningkatnya jumlah lulusan tenaga kesehatan tiap tahun, yang hingga saat ini mencapai jumlah kurang-lebih 26.000 orang, maka tidak semua lulusan dapat diserap menjadi pegawai negeri.

Suatu gambaran tentang kemampuan daya serap melalui formasi sebagai PNS adalah lulusan Akademi Perawat yang berjumlah kurang lebih 8.600 orang/tahun, dan yang dapat diserap melalui formasi Inpres dan Rutin 1996/1997 hanya 493. Lulusan SPK dan Bidan berjumlah 10.400 orang, sedangkan formasi yang tersedia 1996/1997 hanyalah 3.605.Lulusan Jenjang Pendidikan Tinggi (JPT-DIII) diperkirakan menjadi 4.960 orang, sedang penyediaan formasi 1996/1997 adalah 926. Lulusan Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) berjumlah 3.320 orang sedang formasi yang tersedia 1996/1997 adalah 1.473.Gambaran lain tentang penyerapan sebagai PNS pada tahun 1995 di kalangan tenaga Farmasi Apoteker tercatat sekitar 49% dan selebihnya sebanyak lebih kurang 3.500 orang bekerja di lingkungan BUMN dan Swasta.

Pelaksanaan Wajib Kerja Sarjana bagi tenaga kesehatan telah memberikan kesempatan pada Depkes untuk dapat menyebarkan tenaga kesehatan di tempat-tempat yang memerlukan, sehingga diharapkan tidak terjadi kekosongan di suatu wilayah tertentu, dan kesempatan ini telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya kebijaksanaan zero growth, maka pengangkatan/ penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan dengan menggunakan alokasi formasi pengganti dan melalui pengangkatan PTT yang jumlahnya sangat terbatas.Tenaga pasca PTT diberi kesempatan untuk menjadi PNS melalui seleksi/persyaratan, namun jumlahnya hanya berkisar 10% dari jumlah yang diperlukan.Sisa dari para tenaga pasca PTT itu diharapkan dapat terserap oleh pelayanan kesehatan sektor swasta.

Dimensi perencanan juga menghadapi masalah yang tidak sederhana.Sebagai antisipasi terhadap sebelum diterapkannya kebijaksanaan zero growth, Departemen Kesehatan melalui Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 1991, mengambil kebijaksanaan mengangkat tenaga dokter sebagai pegawai tidak tetap atau PTT dalam menjalankan masa baktinya. Pengangkatan dimulai sejak Februari 1992 dan sampai saat ini telah diangkat lebih dari 10.000 dokter untuk mengisi berbagai sarana pelayanan kesehatan didaerah. Pada tahun 1994, pengangkatan PTT diperluas kepada dokter gigi dan bidan di desa.

Berkaitan dengan tenaga Bidan, dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di perdesaan untuk program penurunan angka kematian ibu dan anak, dalam Repelita V telah diupayakan untuk menempatkan tenaga Bidan di desa untuk memenuhi 54.120 desa yang belum terjangkau oleh pelayanan KIA. Sejak tahun 1989/1990 sampai dengan tahun 1998/1999, secara keseluruhan telah ditempatkan lebih dari 60.000 orang bidan, yang berarti hampir semua desa telah mempunyai tenaga bidan.Tahun ini sebagian dari bidan desa yang dipekerjakan melalui PTT, hampir menyelesaikan masa baktinya.Kini mereka ditawarkan untuk masa bakti kedua selama 3 tahun lagi (di desa semula) dan diharapkan setelah itu mereka dapat mandiri bekerja di desa tanpa harus menjadi Pegawai Negeri.

BAB III

TANTANGAN MASA DEPAN

Kebijaksanaan pengangkatan PTT, selain untuk memenuhi kebutuhan tenaga, juga sekaligus digunakan untuk dapat mencapai pemerataan tenaga kesehatan, sehingga lulusan tenaga kesehatan yang pendayagunaannya melalui PTT, terkena wajib kerja Depkes.Permasalahan yang muncul dalam pola ini terutama disebabkan oleh adanya semacam one gate policy dalam penyerapan tenaga.Terbatasnya jumlah formasi PTT dibandingkan dengan jumlah produksi tenaga, dan ditambah lagi dengan preferensi lulusan terhadap wilayah-wilayah tertentu, utamanya lulusan yang wanita, berakibat keadaan menjadi tidak ubahnya dengan fenomena bottle neck dalam pendayagunaan lulusan, utamanya lulusan dokter.Stagnasi yang terjadi akibat fenomena ini telah dapat dilihat dampaknya, terutama pada penurunan ratio dokter Puskesmas.Adanya peminatan terhadap wilayah kerja tertentu, suatu keadaan yang memperberat stagnasi, kemungkinan timbul akibat sifat penempatan kerja untuk jangka waktu yang relatif lama.

Dengan adanya one gate policy dan wajib kerja itu pula, kebutuhan tenaga kesehatan oleh sektor di luar pemerintah menjadi sulit terpenuhi. Pasar tenaga kesehatan yang nampaknya cukup potensial untuk menyerap tenaga, khususnya dokter, adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang manajemen kesehatan, seperti asuransi jiwa. Peluang ini tidak dapat dimanfaatkan oleh karena tenaga kesehatan harus menunggu giliran di "PTT" kan dulu, tanpa kepastian berapa lama waktu tunggu itu.Hambatan penyerapan tenaga oleh sektor swasta itu mendorong lulusan baru untuk bekerja secara ilegal pada berbagai institusi kesehatan swasta, dengan alasan "mengisi waktu tunggu PTT".Di samping itu, hambatan, pada gilirannya, diperkirakan juga akan terjadi pada pemenuhan kebutuhan dokter spesialis akibat persyaratan PTT sebelum pendidikan lanjut. Tantangannya adalah bagaimana sektor swasta dapat mendayagunakan tenaga kesehatan di berbagai daerah sejalan dengan otonomi daerah.

Adanya preferensi untuk bekerja pada wilayah-wilayah tertentu, mengancam tidak tercapainya pemerataan penyediaan tenaga kesehatan pada daerah-daerah yang kurang diminati. Selain itu terdapat kecenderungan penurunan penempatan dokter di daerah terpencil dan sangat terpencil.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, masa kerja yang relatif lama, bahkan kemungkinan tidak kembali bagi tenaga paramedis, menyebabkan pemilihan lokasi tugas menjadi titik crucial bagi masa depan petugas.Apalagi belum nampak adanya indikasi bahwa sistem tour of duty akan diterapkan, sehingga kekhawatiran petugas akan kemungkinan “terbenam” di tengah-tengah medan tugas dengan berlakunya waktu, cukup beralasan. Inilah tantangan lain yang harus dihadapi di sektor kesehatan.

Berkaitan dengan pengangkatan secara PTT yang dibatasi untuk masa kontrak tiga tahun, secara psikologis dapat berakibat kurangnya konsentrasi petugas terhadap tugas-tugasnya. Walaupun harapan menjadi pegawai negeri masih ada, namun secara statistik kemungkinan itu tidak lebih dari 10%. Oleh karena itu, pembatasan masa kontrak itu menjadi semacam isyarat bahwa setelah tiga tahun seorang petugas PTT akan menghadapi keadaan putus hubungan kerja. Hal ini menyebabkan yang bersangkutan mungkin lebih tertarik untuk memikirkan masa pasca PTT daripada semasa PTT.

BAB IV

ALTERNATIF PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN

Sehubungan dengan berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi berkaitan dengan upaya pemerataan pemenuhan kebutuhan tenaga medis dan paramedis seperti dikemukakan di atas, beberapa pertanyaan berikut mungkin perlu menjadi pertimbangan dalam menyempurnakan kebijakan ketenagaan kesehatan di masa yang akan datang:

1. Apakah wajib kerja masih relevan untuk dipertahankan ?

Selain hal ini menimbulkan berbagai permasalahan sebagaimana tersebut di atas, ada pandangan yang melihat dengan berkembangnya demokrasi, wajib kerja semakin tidak sejalan dengan modernisasi budaya walaupun institusi pendidikan tempat calon tenaga kesehatan disubsidi pemerintah.Apabila wajib kerja menjadi kurang sesuai lagi, maka alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah pengangkatan tenaga kesehatan melalui mekanisme pasar tenaga kerja.Dalam hal ini, Depkes sebagai organisasi kesehatan pemerintah, menjadi salah satu pilihan tempat kerja lulusan baru.

2. Apakah kontrak kerja PTT dapat dipertahankan tanpa perpanjangan ?

Uraian di atas menunjukkan adanya konsekuensi logis dari pembatasan masa kontrak itu.Data menunjukkan hanya kurang-lebih 10% dari para dokter PTT yang dapat diangkat menjadi PNS. Dengan kata lain, hampir 90% akan mengalami PHK. Keadaan ini sangat counter productive, bagi pembinaan karier petugas.Oleh karenanya, perpanjangan kontrak hingga waktu yang tak terbatas, melalui tahapan 2-3 tahun, dapat menjadi alternatif pendayagunaan tenaga PTT.

3. Bagaimana tenaga PTT sebaiknya didaya-gunakan ?

Tenaga PTT pada hakekatnya merupakan tenaga kesehatan profesional.Oleh karena itu, dalam pemanfaatan mereka, perlu ketegasan tugas dan fungsinya yang sesuai dengan profesinya.Tenaga dokter, misalnya, sebaiknya didaya-gunakan sebatas profesi teknis medisnya saja, karena pemanfaatan mereka sebagai manajer/administrator akan berakibat menurunnya efektifitas upaya medis akibat ditangani tenaga yang kurang kompeten.Pemanfaatan tenaga kesehatan PTT sesuai dengan profesinya memungkinkan masa kerja di satu lokasi dipersingkat, misalnya 6 bulan, sehingga adanya tour of duty menjadi lebih dimungkinkan.Dengan demikian, kekhawatiran petugas akan nasib buruk akibat memperoleh wilayah yang tidak disukai, dapat dikurangi karena semua PTT akan digilir ke semua lokasi di wilayah negeri ini.

4. Kategori tenaga apa yang seyogyanya didayagunakan sebagai PNS ?

Pada prinsipnya, mereka yang perlu didayagunakan sebagai PNS adalah petugas/pejabat yang berkaitan dengan tugas administrasi pemerintahan.Mereka adalah orang-orang yang akan duduk dalam struktur organisasi pemerintah.Untuk ini, jenis pendidikan serta pengembangan kariernya, perlu secara konsisten diarahkan untuk tugas-tugas administrasi.Tidak tertutup kemungkinan tenaga kesehatan PTT beralih menjadi tenaga administrasi kesehatan setelah melalui pendidikan dan pelatihan formal, namun status PNS seyogyanya tidak dijadikan suatu daya tarik/imbalan bagi PTT yang berprestasi, karena peran dan fungsinya maupun alur pengembangannya berbeda sama sekali.Apabila pendaya-gunaan tenaga PTT akan mengikuti pola tour of duty, dengan lama kerja di satu pos tidak lebih dari 6 bulan, maka sebaiknya yang didaya-gunakan sebagai PTT adalah tenaga kesehatan fungsional, utamanya yang berkaitan dengan penyampaian pelayanan kesehatan.

Permasalahan yang kita hadapi ini makin menjadi lebih kompleks dengan diberlakukannya otonomi daerah. Apakah one gate policy masih “relevan” diberlakukan sejalan dengan otonomi daerah tersebut ? Bagaimana perpindahan tenaga kesehatan dari satu daerah ke daerah lainnya ? Instansi manakah yang akan mengatur hal ini ? Oleh karena itu, pemberian otonomi daerah dalam bidang pendayagunaan tenaga perlu secara bertahap dikembangkan agar mampu berperan aktif dalam pengembangan dan pembinaan profesi.

PENUTUP

Demikian pokok-pokok pemikiran yang berkaitan dengan upaya penyempurnaan kebijakan ketenagaan kesehatan dalam kaitannya dengan desentralisasi atau otonomi daerah. Di masa depan, sebagai bangsa kita dituntut untuk menyiapkan diri dengan baik agar mampu menjawab berbagai tantangan pembangunan, yang dari waktu ke waktu terasa semakin berat. Dengan demikian kita ditantang untuk membangun sumber daya manusia yang memiliki semangat profesional, semangat pembaharuan (reformasi), serta komitmen dan tekad yang kuat untuk mengubah keadaan dan memperbaiki bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

Kamis, 25 Desember 2008

Kisah Suami yang Teladan

Ini cerita nyata,beliau adalah Bp. Eko Pratomo,Direktur Fortis Asset Management yg sangat terkenal d kalangan Pasar Modal dan Investment,beliau juga sangat sukses dalam memajukan industri Reksadana di Indonesia.
Buat para suami baca ya.istri & calon istri juga boleh.
Dilihat dari usiany beliau sudah tidak muda lagi,usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam,Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dgn merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua.mereka menikah sudah lebih 32 tahun.
Mereka dikarunia 4 orang anak dsinilah awal cobaan menerpa,setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terjadi selama 2 tahun,menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari Pak Suyatno memandikan,membersihkan kotoran,menyuapi,dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur.Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.sorenya dia pulang memandikan istrinya,mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton tv sambil menceritakan apa2 saja yang dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi,Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia slalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dlakukan Pak Suyatno lebih kurang 25thn,dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka,sekarag anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari keempat anak Suyatno berkumpul di rumah orangtua mereka sambil menjenguk Ibunya.Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan Ibu mereka dia yg merawat,yang dia inginkan hanya satu yaitu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata “Pak kami ingin sekali merawat Ibu semenjak kami kecil melihat Bapak merawat Ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir Bapak.bahkan Bapak tidak ijinkan kami menjaga Ibu”.dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya “sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan Bapak menikah lagi,kami rasa Ibupun akan mengijinkannya,kapan Bapak menikmati masa tua Bpk dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat Bapak,kami janji kami akan merawat Ibu sebaik-baik secara bergantian”
Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak2 mereka.”Anak2ku Jikalau perkawinan & hidup di dunia ini hanya untuk nafsu,mungkin Bapak akan menikah tapi ketahuilah dengan adanya Ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian.sejenak kerongkongannya tersekat.kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat menghargai dengan apapun.Coba kalian tanya Ibumu apakah dia menginginkan keadaannya seperti ini?
Kalian mnginginkan Bapak bahagia,apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan Ibumu dengan keadaanya sekarang,kalian menginginkan Bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain,bagaimana dengan Ibumu yang masih sakit.”
Sejenak meledaklah tangis anak2 Pak Suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh dipelupuk mata Ibu Suyatno dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat sendri Istrinya yang sudah tidak bisa apa2.disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah Pak Suyatno bercerita.
“Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya,tetapi tidak mau memberi (memberi waktu,tenaga,pikiran,perhatian) adalah kesia-siaan.Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya,dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya mencintai saya dengan hati dan batinnya bukan dengan mata,dan dia memberi saya 4 orang anak yang lucu2.
Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama.dan itu merupakan ujian bagi saya,apakah saya dapat memegang komitmen untuk mecintainya apa adanya.Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit”

Delapan Kebohongan Seorang Orang Tua Dalam Hidupnya


Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika masih kecil, sebut saja si Andi, terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, sang Orang Tua sering memberikan porsi nasinya untuk Andi. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk Andi, Orang Tua berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ——–KEBOHONGAN Orang Tua YANG PERTAMA

Ketika Andi mulai tumbuh dewasa, Orang Tua yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, Orang Tua berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, Orang Tua memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu Andi memakan sup ikan itu, Orang Tua duduk disampingnya dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang Andi makan. Andi melihat Orang Tua seperti itu, hatinya tersentuh juga, lalu menggunakan sendok dan memberikannya kepada Orang Tua’nya. Tetapi sang Orang Tua dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN Orang Tua YANG KEDUA

Sekarang Andi sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abangnya dan dia, Orang Tua pergi ke koperasi pembuatan kotak korek api untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel merk’nya, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, Andi bangun dari tempat tidurnya, melihat Orang Tua masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Andi berkata :”Ibu/bapak, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu/bapak masih harus kerja.” Orang Tua tersenyum dan berkata :”Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ——–KEBOHONGAN Orang Tua YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, Orang Tua meminta cuti kerja supaya dapat menemani Andi pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, Orang Tua yang tegar dan gigih menunggu Andi di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Orang Tua dengan segera menyambut Andi dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untuknya. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat Orang Tua yang dibanjiri peluh, Andi segera memberikan gelasnya untuk Orang Tuanya sambil menyuruhnya minum. Orang Tua berkata :”Minumlah nak, aku tidak haus!” ———-KEBOHONGAN Orang Tua YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah/ibu karena sakit, ayah/ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumah Andi pun membantu ayah/ibu baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan keluarga Andi yang begitu sengsara, seringkali menasehati ayah/ibu Andi untuk menikah lagi. Tetapi Orang Tua yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ayah/ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———- KEBOHONGAN Orang Tua YANG KELIMA

Setelah Andi dan abangnya semua sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ayah/ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ayah/ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Abang Andi yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ayah/ibu, tetapi ayah/ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya punya duit” ———-KEBOHONGAN Orang Tua YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, Andi pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya Andi pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, Andi bermaksud membawa ayah/ibunya untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ayah/ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepada Andi “Aku tidak terbiasa” ———-KEBOHONGAN Orang Tua YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ayah/ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, Andi yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ayah/ibunda tercinta. Andi melihat ayah/ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ayah/Ibu yang keliatan sangat tua, menatap Andi dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ayah/ibu Andi sehingga ayah/ibunya terlihat lemah dan kurus kering. Andi sambil menatap ayah/ibunya sambil berlinang air mata. Hatinya perih, sakit sekali melihat ayah/ibunya dalam kondisi seperti ini. Tetapi ayah/ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN Orang Tua YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibu Andi tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

**********
Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : ” Terima kasih ayah, terimakasih ibu ! ” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah.

Jika dibandingkan dengan pacar/suami/ istri kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar/suami/ istri kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabarnya, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari orang tua kita? Cemas apakah orang tua kita sudah makan atau belum? Cemas apakah orang tua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..

Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orang tua
kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.